SUNGGUMINASA, FAJAR -- Sungguh ironi karier pendidikan Muhammad Reynaldi Rasid. Berprestasi di sekolahnya, namun harus mengulang dari kelas 1 SD. Persoalannya hanya sepele. Dia dituduh menghilangkan rapornya.
Peristiwa tersebut bermula pada Juni 2010 lalu. Saat itu, Reynaldi siap-siap naik ke kelas 5 di SD KIP 1 Barabarayya, Kota Makassar, usai menjalani ujian kenaikan kelas. Di suatu hari menjelang siang, Reynaldi mengembalikan rapornya kepada gurunya.
Masalah tiba saat pencatatan kembali, beberapa hari kemudian. Aldi, sapaannya, diminta mengembalikan rapornya ke sekolah. Bocah kelahiran 26 Juni 2000 ini pun kebingungan. Pasalnya, dia masih ingat sekali telah mengembalikan rapornya kepada salah seorang gurunya.
Tetapi Aldi justru dituduh telah menghilangkan rapornya. Bagi bocah sepertinya, kehilangan rapor tentu menjadi “musibah” besar. Dia mulai ketakutan. Saking takutnya, Aldi tak mau lagi ke sekolah.
"Saya baru tahu masalah itu setelah dua bulan. Selama sekolah di Makassar, dia memang tinggal dengan orangtua saya di Jl Abu Bakar Lambogo. Saya tinggal di sini," kata Ani, ibu Reynaldi di kediamannya, BTN Tamarunang Indah II, Kelurahan Taengtaeng, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Rabu 4 Juli.
Ani pun mendatangi pihak sekolah untuk meminta kejelasan. Tetapi pihak sekolah tetap bersikukuh Reynaldi telah menghilangkan rapornya. Ani sendiri yakin putra sulungnya itu sudah mengembalikan rapor karena dia sendiri sempat melihat nilai dan rankingnya. Awalnya, Ani mengira kehilangan rapor itu seharusnya tidak masalah. Pasalnya, pihak sekolah pasti memiliki data nilai cadangan. Namun betapa terkejutnya dia, pihak sekolah ternyata tidak memiliki back up data. Yang lebih parah, nomor induk Reynaldi juga tidak ada.
"Saya benar-benar heran. Kenapa bisa sekolah kehilangan nomor induk anak saya?," kata Ani yang juga bersekolah di SD tersebut.
Ani pun mulai berjuang untuk mendapatkan status pelajar putranya. Dia pun menghadap ke Dinas Pendidikan Makassar. Tapi dinas enggan menerimanya dengan alasan tidak ada pengantar dari pihak sekolah. Ani pun kembali lagi ke sekolah untuk mendapatkan surat pengantar tersebut. Tetapi pihak sekolah tidak memberikannya karena alasan sekolah sedang sibuk.
Perlakuan tersebut tidak membuat ibu tiga anak ini surut. Dia mencoba “menembus” level yang lebih tinggi, Wali Kota Makassar. Sayangnya, Balaikota juga tidak merespons masalahnya.
Setengah putus asa, Ani memutuskan memindahkan anaknya ke Gowa. Di dekat rumahnya, memang ada SD Inpres Taengtaeng. Dia berharap, pihak sekolah mau menerima anaknya dan menempatkannya di kelas 5, sesuai usianya saat ini.
Tetapi Ani harus lagi-lagi menghadapi kenyataan pahit. Pihak sekolah menolak permintaannya karena tak ada surat pengantar dan rapor dari sekolah awalnya. Satu-satunya jalan untuk sekolah, Aldi harus mengulang dari kelas 1 SD. Kali ini, Ani sudah putus asa.
"Saya tanya dia (Aldi), apa mau sekolah. Aldi bilang, 'biar mengulang, daripada tidak sekolah," kata Ani.
Keteguhan Aldi pun membesarkan hati Ani dan suaminya, Rasid. Menanggung rasa malu, Aldi didudukkan di kelas 1 pada usia 10 tahun saat itu, lebih tua 4 tahun dari rekan-rekan sekelasnya.
Kini, Aldi sudah akan naik kelas 3 dengan usia 12 tahun. Selama bersekolah, Aldi tak pernah kehilangan gelar ranking 1. "Sejak di SD KIP, dia memang sudah sering ranking 1 atau 2," ujar Ani.
Namun bersekolah dengan usia yang “cukup” tua menjadi beban sendiri bagi Aldi. Dia mengaku sering menjadi bahan tertawaan teman-teman di sekolahnya. "Anak kelas 6 selalu pangngara ka (memancing) berkelahi," katanya polos.
Sementara Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Gowa tampaknya tak tahu menahu mengenai masalah tersebut. Saat dikonfirmasi, para staf di Bidang Pendidikan Dasar pun terlihat terkejut.
"Ada anak kelas 3 sudah 12 tahun? Itu baru kami dengar," kata Bachtiar heran, salah seorang pejabat di Bidang Pendidikan Dasar.
Ani memang mengaku belum pernah melaporkan hal tersebut kepada dinas pendidikan di Gowa. (aha/sil)
Posting Komentar